Me

Me
It's me

Kamis, 22 September 2011

Remunerasi rumah sakit daerah

     Perkembangan industri rumah sakit semakin tampak dengan berbagai kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan mutu pelayanan publik. Kaitan dengan telah terbitnya Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, yang ditindak lanjuti dengan PP No.23 tahun 2005 Tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) dan Peraturan Menteri Keuangan RI diantaranya yang berkaitan dengan tata cara admnistratif, dan sistem remunerasi di Pola Pengelolaan Keuangan-Badan Layanan Umum (PPK-BLU), menyadarkan kita semua bahwa rumah sakit haruslah dikelola dengan konsep bisnis sehat. Di masa mendatang rumah sakit pemerintah yang sangat erat kaitannya dengan pelayanan publik yang paling mendasar, haruslah dikelola secara profesional dan efektif yang bisa memberikan pelayanan yang berkualitas standar. Sebagai pendorong maka terbit Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Sistem Remunerasi pada PPK-BLU, dengan sendirinya maka akan terjadi pemberdayaan institusi PPK-BLU untuk memungkinkan mengatur sistem remunerasinya secara rasional (Subanegara, 2007).
   Sistem Remunerasi adalah suatu sistem yang mengatur gaji, insentif, dan bonus pegawai pada suatu perusahaan. Sistem ini berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain, sangat bergantung kepada kemampuan perusahaan yang bersangkutan dalam memberikan upah terhadap para karyawannya (Subanegara 2007)
   Remunerasi yang berlaku saat ini jumlahnya tidak memenuhi kebutuhan hidup layak dan kurang memenuhi prinsip “equity” karena gaji tidak dikaitkan dengan kompetensi dan prestasi, sehingga menjdai penting bagi instansi untuk menyiapkan dan menerapkan sistem remunerasi yang memenuhi prinsip-prinsip merit, equity, kompetitif guna meningkatkan profesionalisme dan memacu kinerja para stafnya (kedeputiannya SDM Kementrian PAN, 2006)
   Remunerasi merupakan salah satu unsur yang cukup penting untuk diketahui oleh para manajer rumah sakit karena menyangkut biaya kehidupan dan penghidupan seluruh karyawan. Seringkali ketidakseimbangan upah, gaji atau insentive antara kelompok dokter, perawat dan yang setara dengan perawat, tenaga admnistratif serta tingkatan manajer rumah sakit menyebabkan terjadinya konflik yang berkepanjangan dan menyebabkan menurunnya komitmen karyawan terhadap organisasi. Karenanya perlu pemahaman bagaimana sistem remunerasi dapat dikembangkan dan disesuaikan berdasarkan kesepakatan melalui beberapa pendekatan yang fleksibel. Dari hasil penelitian (Subanegara, 2007) 43 % responden menyatakan ada hubungan yang erat anatar manajemen kinerja atau sistem akuntabilitas dengan penggajian atau sistem remunerasi, ternyata upah masih merupakan elemen yang cukup penting dalam manajemen kinerja. Hal yang perlu dipahami disini adalah bahwa dengan pemberian upah yang memadai dengan apa yang telah dikerjakan oleh seseorang, maka dipercaya akan meningkatkan motivasi orang yang bersangkutan untuk berkinerja lebih baik. Sisi lain dari pengertian ini adalah bahwa jika seseorang tidak mengerjakan pekerjaannya sesuai dengan target dan standar yang telah ditentukan maka karyawan yang bersangkutan tidak semestinya mendapatkan upah sesuai standar atau ketentuan yang berlaku. Sebab upah sudah ditentukan berdasarka kinerja waktu dan target atau standar yang telah disepakati sebelumnya.
   Pada rumah sakit yang menerapkan pola keuangan Badan Layanan Umum (BLU) baik pusat maupun daerah, sudah diamanatkan bahwa sistem remunerasi merupakan persyaratan administratif seperti tertuang didalam PP No.23 Tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Penerapan ke arah BLU sesuai amanat PP No.23 ini telah mulai dilakukan pada oktober 2005 lalu dengan tahap awal sebanyak 13 RS yang statusnya Perjan telah ditetapkan menjadi RS BLU. Senada hal tersebut. 
  
2.1       Alur Berfikir
2.1.1       Alur Proses (Flowchart) Rawat Jalan
     







2.1.2       Alur Proses (Flowchart) Rawat Inap
     












2.2.3    Alur Proses (Masterchart) pembagian jasa versi RSU I Lagaligo Wotu.

















2.2.4    Alur proses (Masterchart) Remunerasi RSU I Lagaligo Wotu

1.2.4.1          Alur Proses (Flowchart) Competency Index







1.2.4.2          Alur Proses (Flowchart) Risk Index







1.2.4.3          Alur Proses (Flowchart) Emergency Index









1.2.4.4          Alur Proses (Flowchart) Position Index






1.2.4.5          Alur Proses (Flowchart) Kinerja











1.2.4.6          Alur Proses (Flowchart) Total Insentif


















1.2.4.7          Flowchart Pendapatan RSU I Lagaligo



1.2.4.8          Flowchart Pembagian Jasa Medik (Jasa Pelayanan Berdasarkan Sistem Remunerasi)

 
Analisis Pembagian Jasa/Insentif
Pada pembagian jasa medik yang terjadi di Rumah Sakit Umum I Lagaligo Wotu selama ini berdasar pada ketentuan aturan Perda No 16 tahun 2009 Tentang Retibusi Pelayanan Kesehatan. Dalam Bab XVII pasal 25 tentang Pengelolaan Penerimaan Retribusi diatur ketentuan bahwa penerimaan retribusi terdiri dari komponen jasa sarana dan komponen jasa pelayanan. Komponen jasa sarana (56% dari total pendapatan) merupakan pendapatan daerah yang harus disetor ke Kas Daerah. Komponen jasa pelayanan (44% dari total pendapatan) seluruhnya disetor ke Kas Daerah.
Komponen penerimaan jasa pelayanan dengan uraian seperti yang disebutkan, lebih rinci digambarkan dalam lampiran.
Menurut Rahmi (2008) Besarnya persentase komponen jasa sarana yang harus disetorkan sebagai pendapatan daerah menyebabkan ketidakseimbangan pendapatan jasa medik. Dan pemasukan yang dihasilkan dari jasa pelayanan yang dilakukan oleh staf yang ada di Rumah Sakit Umum I Lagaligo Wotu sehingga membuat motivasi kerja menjadi kurang. Akibatnya kinerja rumah sakit secara keseluruhan tidak dapat memberi pelayanan yang optimal kepada masyarakat yang menggunakan layanan Rumah Sakit Umum I Lagaligo Wotu. Dengan adanya proses penyetoran hasil retribusi ke Kas Daerah menyebabkan jasa tidak dapat dibagikan secara langsung pada akhir bulan pelayanan berjalan dan distribusinya pun tidak dapat dibagi perbulan melainkan berdasarkan pencairan dana dari daerah setelah dikelola yang tidak menetap waktu pencairannya.

3.2.3      Pengembangan Remunerasi dengan Indexing
Kebersamaan dibagi berdasarkan Indeks Penilaian. Adapun indeks penilaian yang digunakan adalah :





No
OBJECT
INDEX
RATING
SCORE
1
BASIC INDEX
Setiap gaji 100.000 = 1 nilai index


1

2
COMPETENCY INDEX
-        SD atau lebih rendah
-        SLTP
-        SMU / Sertifikasi kompetensi teknis
-        D3/ Akademi
-        Sarjana (S1)
-        Dokter / Drg / Apoteker
-        S2 / Spesialis
-        S3

1
2
3
4
5
6
7
8




2

3
RISK INDEX
-         Grade I
-        Grade II
-        Grade III

1
3
6

3

4
EMERGENCY INDEX
-         Grade I
-         Grade II
-         Grade III

1
3
6

3

5
POSITION INDEX
-         Ketua Komite Medik
-         Kepala bidang/Kepala Instalasi/SMF
-         Kepala ruangan/ sub-bidang/panitia

6
4
2

3

6
PERFORMANCE INDEX
Nilai Index = 2 x Basic Index

2 x Basic Index



GRADE
KARYAWAN PADA LOKASI
I
Administratif perkantoran
II
Rawat jalan, gizi, rehabilitasi medik, rawat inap tdk menular, IPSRS, CSSD, apotik, farmasi
III
IGD, Bedah Sentral, Rawat Inap Menular, ICU, Laundry, Radiologi, Laboratorium

Indeks Penilaian per individu pada masing-masing unit
juga diperlukan dalam pembuatan remunerasi.


Kesimpulannya : Jika sebuah rumah sakit ingin membuat ataupun menerapkan sistem remunerasi maka sistem pencatatan dan pelaporan yang harus diperbaiki terlebih dahulu.